A. Latar Belakang
Berbicara mengenai sekularisme, sebagaimana yang dikomentari oleh Arkon, bahwa orang seringkali menggabungkan suatu ungkapan yang sangat populer dalam Injil "Berikanlah Kaisar kepada Kaisar dan berikanlah milik Allah kepada Allah". Berdasar dari ungkapan inilah, menurut sebagian pendapat, terjadi pemisahan total antara gereja dengan negara di dunia Barat. Padahal sesungguhnya ungkapan Al-Masih (Yesus Kristus) dapat dipahami hanya jika diketahui dengan baik kondisi historis ketika itu. Pada saat ungkapan itu dikemukakan oleh Al-Masih, Palestina di bawah kekuasaan Romawi. Dalam situasi demikian, satu-satunya cara seorang tokoh agama adalah berkiprah pada tataran spiritual keagamaan dan tidak pada politik. Jadi ungkapan dalam Injil tersebut sesungguhnya bertujuan mengendalikan kekuasaan spiritual.
Berbicara mengenai sekularisme, sebagaimana yang dikomentari oleh Arkon, bahwa orang seringkali menggabungkan suatu ungkapan yang sangat populer dalam Injil "Berikanlah Kaisar kepada Kaisar dan berikanlah milik Allah kepada Allah". Berdasar dari ungkapan inilah, menurut sebagian pendapat, terjadi pemisahan total antara gereja dengan negara di dunia Barat. Padahal sesungguhnya ungkapan Al-Masih (Yesus Kristus) dapat dipahami hanya jika diketahui dengan baik kondisi historis ketika itu. Pada saat ungkapan itu dikemukakan oleh Al-Masih, Palestina di bawah kekuasaan Romawi. Dalam situasi demikian, satu-satunya cara seorang tokoh agama adalah berkiprah pada tataran spiritual keagamaan dan tidak pada politik. Jadi ungkapan dalam Injil tersebut sesungguhnya bertujuan mengendalikan kekuasaan spiritual.
Kenyataan yang terjadi
di dunia Barat khususnya dalam hal pemisahan ilmu pengetahuan dari doktrin
gereja menyebabkan ilmu pengetahuan berdiri sendiri tanpa kontrol agama dan
nilai-nilai spiritual. Hal tersebut terus berlanjut hingga abad modern kini.
Mellenium III merupakan
era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang yang disebut
abad modern. Asumsi ini diwarnai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
yng secara teoritis telah ada sebelum abad modern demikian pula
penemuan-penemuan baru(discovery) dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi canggih bermunculan dari waktu ke waktu.
Penemuan-penemuan
tersebut sangat bermanfaat bagi umat manusia sebagai kontribusi dalam upaya
memakmurkan bumi ini. Namun satu hal yang menjadi sentral pembahasan khususnya
bagi pemikir-pemikir Islam adalah Islamisasi ilmu pengetahuan.
Sains dan filsafat sudah
dikenal sejak awal perkembangan Islam yang memungkinkan arus intelektual di
kalangan orang-orang Islam untuk menanggapi pemikir Yunani. Akibat rangsangan
itu ternyata mereka lebih kreatif, sehingga mendorong perkembangan di
Eropa. Namun dalam perkembangannya sains dan filsafat mengalami kemunduran di
tangan umat Islam.
Sekularisasi dan
Islamisasi ilmu pengetahuan masih dalam suasana polemik para ahli. Hal ini
disebabkan satu sisi ingin memproduksi ilmu pengetahuan yang obyektif dengan
pendekatan santifik sementara di sisi lain kecenderungan ilmuwan muslim agar
ilmu pengetahuan lahir dari Islam berdasarkan al-Qur'an dan Hadits, dengan
pendekatan teologi normatif (keagamaan).
B. Sekularisasi Ilmu
Pengetahuan
Secara ontologis, sekularisasi ilmu pengetahuan berarti membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dipandang tidak relevan dalam ilmu. Mitos dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai pra ilmu yang hanya bergayut dengan intuisi (dunia rasa). Ini berarti bahwa peran Tuhan dan dan segala yang berbau mitos dan bernuangsa gaib sebagai sesuatu yang berpengaruh ditiadakan. Sehingga sekularisasi bisa juga disebut dengan desakralisasi (melepaskan diri dari segala bentuk yang bersifat sakral).
Secara ontologis, sekularisasi ilmu pengetahuan berarti membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dipandang tidak relevan dalam ilmu. Mitos dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai pra ilmu yang hanya bergayut dengan intuisi (dunia rasa). Ini berarti bahwa peran Tuhan dan dan segala yang berbau mitos dan bernuangsa gaib sebagai sesuatu yang berpengaruh ditiadakan. Sehingga sekularisasi bisa juga disebut dengan desakralisasi (melepaskan diri dari segala bentuk yang bersifat sakral).
Sekularisme ilmiah
memandang bahwa alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud. Karena alam adalah
benda mati yang netral. Tujuannya sangat ditentukan oleh manusia. Pandangan ini
menyebabkan manusia dengan segala daya yang dimiliki mengeksploitasi alam untuk
kepentingan manusia semata.
Sebuah disiplin ilmu
juga hendak dipertahankan keobjektifan tujuan maka segala yang terkait dengan
agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang bersifat normatif dihindari guna
menjaga realitas ilmu sebagai sesuatu yang independen, otonom dan objektif. Hal
ini sesuai dengan epistemologi yang digunakan yakni rasionalisme dan empirisme
memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman).
Sebagai konsekuensi dari epistemologi sekuler maka pada tataran aksiologinya ilmu
itu bebas nilai (value free of sciences)atau ilmu netral nilai.
C. Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tapi mempunyai maksud dan tujuan. Hal ini disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Imran (3): 191
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu. Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa realitas alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak netral tapi mempunyai maksud dan tujuan. Hal ini disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Imran (3): 191
ربنا ما خلقت هذا با طلا
Artinya:
"Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) dengan
sia-sia"
Islamisasi ilmu
pengetahuan dalam tataran epistimologinya mengkaji ayat-ayat al-Qur'an karena
sebagian ayat al-Qur'an memasuki wilayah kajian empiris dan historis sehingga
kebenaran pernyataannya terbuka untuk dibuktikan dan dihadapkan dengan
metodologi keilmuan. Bahkan ayat yang pertama turun berkenaan dengan perintah membaca
juga segala upaya penelitian ilmiah yang bermaksud mendemonstrasikan revolusi
ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-5).
Islamisasi ilmu
pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa ilmu pengetahuan itu sarat dengan
nilai-nilai moral (moral value) dengan kata lain ilmu itu
tidak netral nilai melainkan dalam ilmu pengetahuan itu terkandung nilai-nilai
luhur berdasarkan ajaran Islam yang mengkristal pada akar-akar Ilahi.
Seorang sarjana
terkemuka yang sangat memperhatikan masalah islamisasi ilmu pengetahuan adalah
Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Ziaduddin Sardan, dalam bukunya
Jihad Intelektual. Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang sifatnya
dualisme (sistem Islam dan sistem sekuler) harus dihilangkan dan dihapuskan.
Dan kedua sistem ini harus digabungkan dan diintegrasikan sementara sistem yang
akan muncul harus diwarnai dengan spirit Islam dan berfungsi sebagai bagian
integral dari idiologi.
Dengan demikian
islamisasi ilmu pengetahuan menjadi penting bagi kita khususnya umat Islam guna
mengcounter pengaruh-pengaruh sekularisasi Barat yang bebas nilai.
D. Penutup
Sekularisasi ilmu pengetahuan muncul di dunia Barat yang ditandai dengan adanya pemisahan antara doktrin gereja yang selama ini menguasai ilmu pengetahuan lalu kemudian ilmu pegetahuan itu berdiri sendiri dan bebas dari keterikatan nilai atau norma-norma agama.
Sekularisasi ilmu pengetahuan muncul di dunia Barat yang ditandai dengan adanya pemisahan antara doktrin gereja yang selama ini menguasai ilmu pengetahuan lalu kemudian ilmu pegetahuan itu berdiri sendiri dan bebas dari keterikatan nilai atau norma-norma agama.
Islamisasi ilmu
pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh
dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu dan sekaligus
merupakan counter terhadap sains modern yang berkembang tanpa menghiraukan
nilai-nilai moral yang luhur (bebas nilai) ke arah suatu peradaban dan ilmu
pengetahuan yang sarat nilai berdasarkan ajaran Islam (al-Qur'an dan Hadits
Nabi SAW).
Kepustakaan:
Alatas, Syed Farid, 1994. Agama dan Ilmu-ilmu Sosial dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an, No. 2 Vol V, h. 41.
Anshari, Endang Saifuddin, 1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Arkon, Muhammad, 1990. al-Fikr al-Islamiy: Naqd wa Ijtihad. t. tp: Dar al-Saqi.
Azhim, Ali Abdul, 1989. Filsafat al-Ma'arif fi al-Qur'an al-Karim diterjemahkan oleh Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim dengan judul Epistemologi dan Aksiologi ilmu Prespektif al-Qur'an. Bandung: Rosdakarya.
Hidayat, Komaruddin, 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hemeneutik. Jakarta: Paramadina.
Idi, Jalauddin dan Abdullah, 1998. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Incorporated, Grollier, 1992. The Encyclopedia Americana, jilid 24 Danburry: Connecticut.
Kattsoff, Louis O, 1992. Element of Philosophy. Diterjemahkan oleh Soejono dengan judul Pengantar Filsafat. Yokyakarta: Tiara Wacana.
Mahmud, Moh. Natsir, 2000. Epistemologi dan Studi Kontemporer. Makassar.
Sardan, Ziaduddin, 1998. Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam. Surabaya; Risalah Gusti.
Suriasumantri, Jujun S. "Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi" dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), 1999. Ilmu dalam Prespektif; sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tim Penyusun, 1995. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Watt, W. Montgomery, 1990. The Majesty That What Islam. Diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo dengan judul, Kerajaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana
Alatas, Syed Farid, 1994. Agama dan Ilmu-ilmu Sosial dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an, No. 2 Vol V, h. 41.
Anshari, Endang Saifuddin, 1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Arkon, Muhammad, 1990. al-Fikr al-Islamiy: Naqd wa Ijtihad. t. tp: Dar al-Saqi.
Azhim, Ali Abdul, 1989. Filsafat al-Ma'arif fi al-Qur'an al-Karim diterjemahkan oleh Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim dengan judul Epistemologi dan Aksiologi ilmu Prespektif al-Qur'an. Bandung: Rosdakarya.
Hidayat, Komaruddin, 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hemeneutik. Jakarta: Paramadina.
Idi, Jalauddin dan Abdullah, 1998. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Incorporated, Grollier, 1992. The Encyclopedia Americana, jilid 24 Danburry: Connecticut.
Kattsoff, Louis O, 1992. Element of Philosophy. Diterjemahkan oleh Soejono dengan judul Pengantar Filsafat. Yokyakarta: Tiara Wacana.
Mahmud, Moh. Natsir, 2000. Epistemologi dan Studi Kontemporer. Makassar.
Sardan, Ziaduddin, 1998. Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam. Surabaya; Risalah Gusti.
Suriasumantri, Jujun S. "Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi" dalam Jujun S. Suriasumantri (ed.), 1999. Ilmu dalam Prespektif; sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tim Penyusun, 1995. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Watt, W. Montgomery, 1990. The Majesty That What Islam. Diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo dengan judul, Kerajaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana
No comments:
Post a Comment