1/01/2013

Adopsi Al Qur an Jika Pendidikan Ingin Maju


Setiap manusia dapat memperoleh pendidikan dan hasil belajar yang baik sesuai dengan petunjuk agama. Dalam hal ini, agama Islam dengan al-Qur’an sebagai sumber utamanya menuntut penganutnya untuk memperdalam ilmu pengetahuannya, sesuai dengan tabiat agama. Ini berarti bahwa teori-teori aliran kependidikan yakni nativisme, empirisme, dan kovergensi bukan menjadi acuan konsep pendidikan al-Qur’an. Namun al-Qur’an lah yang memberikan konsep terhadap aliran-aliran pendidikan tersebut.
Menurut al-Qur’an, manusia pada tabiatnya adalah homo religious (makhluk beragama) yang sejak lahirnya telah membawa suatu kecenderungan beragama. Dalam hal ini, pada QS. al-Rum (30): 30 Allah berfirman :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
Term فطرت الله (fitrah Allah) dalam ayat di atas, mengandung interpretasi bahwa manusia diciptakan oleh Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid. Potensi fitrah Allah pada diri manusia ini menyebabkannya selalu mencari realitas mutlak, dengan cara mengekspresikannya dalam bentuk sikap, cara berpikir dan bertingkah laku. Karena sikap ini manusia disebut juga sebagai homo educandum (makhluk yang dapat didik) dan homo education(makhluk pendidik), karena pendidikan baginya adalah suatu keharusan guna mewujudkan kualitas dan integritas kepribadian yang utuh.
Posisi manusia sebagai homo religious dan homo educandum serta homo educationsebagaimana disebutkan di atas, mengindikasikan bahwa sikap kegiatan belajar bagi setiap manusia dapat diarahkan melalui proses pendidikan dengan memandang fitrah sebagai obyek yang harus dikembangkan dan disempurnakan, dengan cara membimbing dan mengasuhnya agar dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan (Islam) secara universal. Dalam hal ini, al-Qur’an maupun hadis meskipun tidak secara eksplisit membicarakan tentang konsep dasar keberagamaan yang dimaksud, tetapi secara implisit dari konteks ayat maupun hadis terdapat petunjuk yang mengarah tentang pendidikan keberagamaan. Misalnya saja, dalam QS. al-Tahrim (66) : 6 Allah berfirman:
ياأيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا
"Hai orang-orang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari neraka…"
Muatan ayat tersebut sebagai motivasi bagi setiap orang tua (khusus-nya orang-orang beriman) untuk selalu mengawasi anak-anak mereka dalam aspek pendidikan, karena anak-anak atau keluarga merupakan sebagai bagian terpenting dari struktur rumah tangga. Dengan kata lain, orang tua hendaknya tidak mengabaikan kewajiban edukatifnya, yakni memelihara, membimbing dan mendidik anak-anaknya menjadi anggota keluarga yang senang pada kebaikan dan menjauhi kemaksiatan.
Secara jelas perintah tersebut mengarah pada aspek pembinaan mental keberagamaan anak dalam rangka mewujudkan suasana keluarga sakinah yang selalu taat menjalani fungsinya dengan baik. Wadah inilah sebagai penentu keberagamaan anak di masa depan. Kaitannya dengan Nabi saw bersabda dalam satu hadisnya:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : كل مولد يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمحسانه

"Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tualah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi".
Konteks hadis tersebut relevan dengan QS. al-Rum (30): 30 sebagaimana dikutip terdahulu bahwa yang merupakan hakekat fitrah keimanan sebagai petunjuk bagi orang tua agar lebih eksis mengarahkan fitrah yang dimiliki oleh anak secara bijaksana di bawah sejak lahir. Di samping itu, ayat dan hadis Nabi saw tersebut mengandung implikasi bahwa fitrah merupakan suatu pembawaan setiap manusia sejak lahir, dan mengandung nilai-nilai religius dan keberlakuannya mutlak. Di dalam fitrah mengandung pengertian baik-buruk, benar-salah, indah-jelek dan seterusnya.
Dalam aliran pendidikan misalnya nativisme, memandang pembawaan tidak dapat dirubah oleh lingkungan, demikian pula sebaliknya dalam empirisme memandang bahwa lingkungan dapat merubah pembawaan (bakat) anak sejak lahir, seterusnya konvergensi memandang bahwa pembawaan (bakat) sebagai faktor internal dan lingkungan faktor eksternal saling mempengaruhi. Kaitannya dengan ini, maka dalam perspektif al-Qur’an ditegaskan bahwa fitrah adalah pembawaan keagamaan dan suatu saat keagamaan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan. Artinya bahwa fitrah tidak dapat berkembang tanpa adanya pengaruh positif dari lingkungannya yang mungkin dapat dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis bila lingkungan itu tidak memungkinkan untuk menjadi fitrah itu lebih baik.
Jadi, faktor-faktor yang bergabung dengan fitrah dan sifat dasarnya bergantung pada sejauh mana interaksi dengan fitrah itu berperan. Pada sisi lain, tentu saja fitrah yang dibawa oleh setiap manusia sejak kecil, pada perkembangannya nanti akan mengalami tingkatan-tingkatan yang bervariasi, sesuai dinamika dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Karena demikian halnya, maka hasil yang diraih dari proses belajar dapat dilihat sejauh mana fitrah itu berperan.
Faktor pertama yang mempengaruhi hasil belajar mengajar, jika merujuk pada teks hadis terdahulu adalah lingkungan keluarga, sebagai unit pertama dan institusi pertama anak dipelihara, dibesarkan dan dididik. Lingkungan keluarga di sini memberikan peranan yang sangat berarti dalam proses keberhasilan anak dalam pendidikan. Sebab di lingkungan inilah anak menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan sejak awal kepadanya.
Pada masa kecil, keimanan anak belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang obyektif, tetapi lebih merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman dan kenikmatan jasmaniah. Peribadatan anak pada masa ini masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati.
Peniruan sangat penting dalam kehidupan anak, mulai dari bahasa, mode, adat istiadat dan sebagainya. Hampir semua kehidupan anak berpangkal pada proses peniruan. Misalnya saja, apabila anak-anak itu melihat orang tuannya shalat, maka mereka juga mencoba untuk mengikutinya. Maka dari itu, lingkungan keluarga (rumah tangga) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat dan sikap keberagamaan seseorang.
Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, maka orang tua menyekolahkan anak-anak mereka dan secara kelembagaan sekolah di sini sebagai faktor kedua yang dapat memberikan pengaruh dalam membentuk tingkat keberagamaan. Namun besar kecil pengaruh yang dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Hal ini disebabkan perkembangan keagamaan anak, juga dimotivasi oleh perkembangan bakat dan kepribadiannya.
Lingkungan sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan tingkat keberhasilan anak dalam belajar, adalah sebagai lanjutan dari pendidikan lingkungan keluarga. Dalam perspektif Islam, fungsi sekolah sebagai media realisasi pendidikan berdasarkan tujuan pemikiran, aqidah dan syariah dalam upaya penghambaan diri terhadap Allah dan mentauhidkan-Nya sehingga manusia terhindar dari penyimpangan fitrahnya. Artinya, prilaku anak diarahkan agar tetap mempertahankan naluri keagamaan dan tidak keluar dari bingkai norma-norma Islam.
Dalam upaya pembentukan jadi diri peserta didik, maka pendidikan melalui sistem persekolahan patut diberikan penekanan yang istimewa. Hal ini disebabkan oleh pendidikan sekolah mempunyai program yang teratur, bertingkat dan mengikuti syarat yang jelas dan ketat. Hal ini mendukung bagi penyusunan program pendidikan Islam yang lebih akomodatif.
Di samping lingkungan rumah tangga dan sekolah, maka lingkungan masyarakat merupakan faktor ketiga yang memengaruhi tingkat keberhasilan pendidikan. Dalam pandangan Hadari Nawawi, pada tahap yang lebih tinggi dan komplek di masyarakat terdapat konsep-konsep berpikir yang disebut ideologi, yang membuat manusia berkelompok-kelompok dengan menjadikan ideologinya sebagai falsafah dan pandangan hidup kelompok masing-masing. Di antara ideologi-ideologi itu ada yang bersumber dari agama. Sekiranya idelogi agama ini direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka sikap dan prilaku keberagamaan seseorang akan semakin mantap dan kokoh.
Kesadaran akan pentingnya sikap atau prilaku keberagamaan dalam kehidupan masyarakat, memberikan peluang yang sangat besar kepada dunia pendidikan untuk merealisasikannya. Ini berarti kesempatan emas bagi umat Islam untuk menjadikan pendidikan sebagai pilihan strategis bagi pemeliharaan, penanaman dan penyebaran nilai Islam. Konsekuensinya, diperlukan upaya-upaya yang dinamis, fleksibel dan serius dalam mengelola lembaga pendidikan formal di setiap jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik yang berstatus negeri maupun swasta.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud teori belajar dan mengajar menurut petunjuk Al-Qur’an adalah aturan dalam proses kegiatan belajar dan mengajar berdasarkan dalil-dalil yang mengacu pada interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Antara lain dalil-dalil yang berkenaan dengan ini adalah QS. al-Alaq (96): 1-5 yang berbicara tentang perintah belajar dan mengajar; QS. al-Nahl (16): 78 yang berbicara tentang komponen pada diri manusia yang harus difungsikan dalam kegiatan belajar dan mengajar; QS. Luqmān (31): 17-19 yang berbicara tentang pemantapan aqidah dan akhlak dalam kegiatan belajar dan mengajar; QS. al-Nahl (16): 125 dan selainnya tentang kewajiban belajar dan mengajar serta metode-metode yang digunakan.
Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang memengaruhi peserta didik tersebut. Selanjutnya menurut aliran konvergensi bahwa antara lingkungan dan bakat pada peserta didik yang terbawa sejak lahir saling memengaruhi.
Al-Qur’an sebagai acuan dasar pendidikan Islam dalam menerangkan teori belajar mengajar telah memberikan konsep terhadap pemikiran yang terdapat aliran nativisme, empirisme dan konvergensi. Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa pembawaan seorang anak (peserta didik) sejah lahirnya disebut fitrah, dan fitrah ini adalah dasar keagamaan yang dimiliki oleh setiap orang. Fitrah menurut al-Qur’an di samping dapat menerima pengaruh dari dalam (keturunan) juga dapat menerima pengaruh dari luar (lingkungan). Untuk mengembankan fitrah ini, maka sangat pendidikan kedudukan pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kepustakaan:
Ahmad, Mudhor. Manusia dan Kebenaran. Surabaya: Usaha Nasional, 1989
Al-Ashfahani, al-Raghib. Mufradat Alfadz al-Qur’an. Beirut: Dar al-Syamiyah, 1992
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Imam Ibn Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim. al-Jami Shahih, Juz VIII. Beirut: Dar al-Ma’arif, t.th.
Nawawi, H. Hadari. Pendidikan dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press, 1984
Menurut Hasan Langgulung, ada lima sumber nilai yang diakui dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi, itulah yang asal. Sumber ketiga yaitu qiyas, artinya membandingkan masalah yang disebutkan oleh al-Qur’an dan Sunah dengan masalah yang dihadapi oleh umat Islam pada masa tertentu, tetapi nash yang tegas tidak ada dalam al-Qur’an, di sini digunakan qiyas. Kemudian sumber keempat adalah kemaslahatan umum pada suatu ketika yang dipikirkan patut menurut kacamata Islam. Sedang sumber yang kelima adalah kesepakatan atau ijma’ ulama dan ahli fikir Islam pada suatu ketika yang dianggap sesuai dengan sumber dasar Islam yaitu al-Qur’an dan sunnah.
Pendidikan Islam merujuk pada tiga sumber, yakni al-Qur'an, hadits, dan ijtihad. Ijtihad adalah usaha yang dilakukan oleh para ulama (mujtahid) untuk menetapkan/menentukan sesuatu hukum syari’at Islam terhadap hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah. Hal ini sejalan dengan pendapat Zakiah Daradjat bahwa “landasan pendidikan Islam itu terdiri dari al-Qur’an dan sunnah Nabi yang dapat dikembangkan dengan ijtihad.
Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan. Namun demikian, ijtihad harus mengikuti kaidah-kaidah yang diatur oleh para mujtahid, tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur’an dan sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori baru dari hasil pendidikan harus dikaitkan dengan ajaran Islam yang sesuai dengan kebutuhan hidup.
Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin dibutuhkan, sebab ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah hanya sebatas pokok-pokok dan prinsip-prinsip. Bila diperinci, maka perincian itu sekedar contoh dalam menerapkan yang prinsip itu karena sejak diturunkan sampai Nabi Muhammad saw. wafat, ajaran Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang seirama dengan tuntutan perkembangan jaman.
Dalam hal ini pemikiran para filsafat, pemimpin dan intelektual muslim yang berijtihad dalam bidang pendidikan menjadi referensi (sumber) pengembangan pendidikan Islam. Hasil pemikiran itu baik dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, fikih Islam, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya menyatu sehingga membentuk suatu pemikiran dan konsepsi komprehensif yang saling menunjang khususnya bagi pendidikan Islam. Dalam usaha modernisasi pendidikan Islam, pemikiran kalangan intelektual pembaharu yang dapat dijadikan referensi bagi pengembangan pendidikan Islam.
Pergantian dan perbedaan zaman terutama karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang bermuara kepada perubahan kehidupan sosial, telah menuntut ijtihad dalam bentuk penelitian dan pengkajian kembali prinsip-prinsip ajaran Islam, apakah ia boleh ditafsirkan dengan yang lebih relevan dengan lingkungan dan kehidupan sosial yang tidak boleh diubah, maka lingkungan dan kehidupan sosial yang perlu diciptakan sehingga sesuai dengan prinsip tersebut. sebaliknya, jika ditafsir, maka ajaran-ajaran itulah yang menjadi kehidupan muslim. Zaman sekarang sudah berbeda dengan zaman ketika ajaran Islam pertama kali diterapkan. Di samping itu diyakini pula bahwa ajaran Islam berlaku di segala zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan), di segala situasi dan kondisi lingkungan sosial. Kenyataan yang dihadirkan oleh perubahan zaman dan perkembangan IPTEK menyebabkan kebutuhan manusia semakin meningkat.
Sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial, manusia tentu saja mempunyai kebutuhan individu dan kebutuhan sosial menurut tingkatannya. Dalam kehidupan bersama mereka mempunyai kebutuhan bersama untuk kelanjutan hidup kelompoknya. Kehidupan itu meliputi berbagai aspek kehidupan individu dan sosial. Seperti sistem politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan, yang tersebut terakhir adalah kebutuan yang terpenting karena ia menyangkut pembinaan generasi mendatang dalam rangka memenuhi kebutuhan yang tersebut sebelumnya.
Sistem pembinaan di satu pihak dituntut agar senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu dan teknologi yang berkembang pesat. Di pihak lain dituntut agar tetap bertahan dalam hal sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini merupakan tugas dan tanggung jawab bagi para mujtahid di bidang pendidikan untuk selalu berijtihad sehingga teori pendidikan Islam senantiasa relevan dengan tuntutan zaman dan perubahan.
Kepustakaan:
Azra, Azyumardi. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif, 1980.
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Darajat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Al-Ma’arif, Bandung, 1980.

No comments:

Post a Comment